Minggu, 09 November 2008

Klasifikasi Hadits berdasarkan pada Kuat Lemahnya Berita

Oleh : Ust. Ahmad Sarwat, Lc

Berdasarkan pada kuat lemahnya
hadits tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu hadits maqbul (diterima)
dan mardud (tertolak). Hadits yang diterima terbagi menjadi dua, yaitu hadits
yang shahih dan hasan. Sedangkan yang tertolak disebut juga dengan
dhaif.

1. Hadits Yang Diterima
(Maqbul)

Hadits yang diterima dibagi menjadi
2 (dua):

1. 1. Hadits Shahih

1. 1. 1. Definisi:

Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, yang dimaksud dengan
hadits shahih adalah adalah:

Hadits yang dinukil
(diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya
bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.

Dalam kitab Muqaddimah At-Thariqah Al-Muhammadiyah disebutkan bahwa definisi
hadits shahih itu adalah:

Hadits yang lafadznya
selamat dari keburukan susunan dan maknanya selamat dari menyalahi ayat Quran.

1. 1. 2. Syarat-Syarat
Hadits Shahih:

Untuk bisa dikatakan sebagai
hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah memenuhi kriteria berikut ini:

* Rawinya bersifat adil, artinya seorang rawi
selalu memelihara ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi
dosa-dosa kecil, tidak melakukan perkara mubah yang dapat menggugurkan
iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan
dengan dasar syara’
* Sempurna ingatan (dhabith), artinya ingatan
seorang rawi harus lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya harus
lebih banyak daripada kesalahannya, menguasai apa yang diriwayatkan,
memahami maksudnya dan maknanya
* Sanadnya tiada putus (bersambung-sambung)
artinya sanad yang selamat dari keguguran atau dengan kata lain; tiap-tiap
rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari yang memberi hadits.
* Hadits itu tidak ber’illat (penyakit yang
samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits)
* Tidak janggal, artinya tidak ada pertentangan
antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits
yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin daripadanya.

1. 2. Hadits Hasan

1.2.1. Definisi

Secara bahasa, Hasan adalah sifat
yang bermakna indah. Sedangkansecara istilah, para ulama mempunyai pendapat
tersendiri seperti yang disebutkan berikut ini:

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar menuliskan tentang
definisi hadits Hasan:

Hadits yang dinukilkan
oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttashil
(bersambung-sambung sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai kepada nabi
SAW dan yang tidak cacat dan tidak punya keganjilan.

At-Tirmizy dalam Al-Ilal menyebutkan tentang
pengertian hadits hasan:

Hadits yang selamat dari
syuadzudz dan dari orang yang tertuduh dusta dan diriwayatkan seperti itu dalam
banyak jalan.

Al-Khattabi menyebutkan tentang pengertian hadits
hasan:

Hadits yang
orang-orangnya dikenal, terkenal makhrajnya dan dikenal para perawinya.

Yang dimaksud dengan makhraj
adalah dikenal tempat di mana dia meriwayatkan hadits itu. Seperti Qatadah buat
penduduk Bashrah, Abu Ishaq as-Suba’i dalam kalangan ulama Kufah dan Atha’ bagi
penduduk kalangan Makkah.

Jumhur ulama: Hadits yang
dinukilkan oleh seorang yang adil (tapi) tidak begitu kuat ingatannya,
bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan matannya.

Maka bisa disimpulkan bahwa
hadits hasan adalah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang
tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu
diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan
maknanya.

1.2.2. Klasifikasi Hadits
Hasan

Hasan Lidzatih

Yaitu hadits hasan yang telah
memenuhi syarat-syaratnya. Atau hadits yang bersambung-sambung sanadnya dengan
orang yang adil yang kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya sydzudz
dan illat.

Di antara contoh hadits ini adalah:

لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة

Seandainya aku tidak
memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan untuk menggosok gigi setiap
waktu shalat

Hadits Hasan lighairih

Yaitu hadits hasan yang sanadnya
tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang
banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan
haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari
sesuatu segi yang lain.
Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadits dhaif (lemah),
namun karena ada ada mu’adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi hasan li
ghairihi. Andaikata tidak ada ‘Adhid, maka kedudukannya dhaif.

Di antara contoh hadits ini
adalah hadits tentang Nabi SAW membolehkan wanita menerima mahar berupa
sepasang sandal:

أرضيت من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت: نعم، فأجاز

“Apakah kamu rela menyerahkan diri dan
hartamu dengan hanya sepasang sandal ini?” Perempuan itu menjawab,
“Ya.” Maka nabi SAW pun membolehkannya.

Hadits ini asalnya dhaif (lemah),
karena diriwayatkan oleh Turmuzy dari ‘Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah bin
Amr. As-Suyuti mengatakan bahwa ‘Ashim ini dhaif lantaran lemah hafalannya.
Namun karena ada jalur lain yang lebih kuat, maka posisi hadits ini menjadi
hasan li ghairihi.

Kedudukan Hadits Hasan adalah
berdasarkan tinggi rendahnya ketsiqahan dan keadilan para rawinya, yang paling
tinggi kedudukannya ialah yang bersanad ahsanu’l-asanid.

Hadits Shahih dan Hadits Hasan
ini diterima oleh para ulama untuk menetapkan hukum (Hadits Makbul).

Hadits Hasan Naik Derajat
Menjadi Shahih

Bila sebuah hadits hasan li
dzatihi diriwayatkan lagi dari jalan yang lain yang kuat keadaannya, naiklah
dia dari derajat hasan li dzatihi kepada derajat shahih. Karena kekurangan yang
terdapat pada sanad pertama, yaitu kurang kuat hafalan perawinya telah hilang
dengan ada sanad yang lain yang lebih kuat, atau dengan ada beberapa sanad
lain.

* * *

2. Hadits Mardud
(Tertolak)

Setelah kita bicara hadits maqbul
yang di dalamnya adahadits shahih dan hasan, sekarang kita bicara tentang
kelompok yang kedua, yaitu hadits yang tertolak.

Hadits yang tertolak adalah
hadits yang dhaif dan juga hadits palsu. Sebenarnya hadits palsu bukan termasuk
hadits, hanya sebagian orang yang bodoh dan awam yang memasukkannya ke dalam
hadits. Sedangkan hadits dhaif memang benar sebuah hadits, hanya saja karena
satu sebab tertentu, hadis dhaif menjadi tertolak untuk dijadikan landasan
aqidah dan syariah.

2.1 Definisi:

Hadits Dhaif yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari
syarat-syarat hadits Shahih atau hadits Hasan.

Hadits Dhaif merupakan hadits
Mardud yaitu hadits yang tidak diterima oleh para ulama hadits untuk dijadikan
dasar hukum.

2.2. Penyebab Tertolak

Ada beberapa alasan yang menyebabkan
tertolaknya Hadits Dhaif, yaitu:

2.2.1 Adanya Kekurangan
pada Perawinya

Baik tentang keadilan maupun
hafalannya, misalnya karena:

* Dusta (hadits maudlu)
* Tertuduh dusta (hadits
matruk)
* Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam
menghafal
* Banyak waham (prasangka) disebut
hadits mu’allal
* Menyalahi riwayat orang
kepercayaan
* Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham)
* Penganut Bid’ah (hadits
mardud)
* Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan
mukhtalith)

2.2.2. Karena Sanadnya Tidak Bersambung

* Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut
hadits mu’allaq
* Kalau yang digugurkan sanad
terakhir (sahabat) disebut hadits mursal
* Kalau yang digugurkan itu dua
orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal
* Jika tidak berturut-turut disebut hadits
munqathi’

2. 2. 3. Karena Matan
(Isi Teks) Yang Bermasalah

Selain karena dua hal di atas,
kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena kelemahan pada matan. Hadits
Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu’

Oleh karenanya para ulama
melarang menyampaikan hadits dhaif tanpa menjelaskan sanadnya. Adapun kalau
dengan sanadnya, mereka tidak mengingkarinya

2.3. Hukum Mengamalkan
Hadits Dhaif

Segenap ulama sepakat bahwa
hadits yang lemah sanadnya (dhaif) untuk masalah aqidah dan hukum halal dan
haram adalah terlarang. Demikian juga dengan hukum jual beli, hukum akad nikah,
hukum thalaq dan lain-lain.

Tetapi mereka berselisih faham
tentang mempergunakan hadits dha’if untuk menerangkan keutamaan amal, yang
sering diistilahkan dengan fadhailul a’mal, yaitu untuk targhib atau
memberi semangat menggembirakan pelakunya atau tarhib (menakutkan
pelanggarnya).

Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim
menetapkan bahwa bila hadits dha’if tidak bisa digunakan meski hanya untuk
masalah keutamaan amal. Demikian juga para pengikut Daud Azh-Zhahiri serta Abu
Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki. Tidak boleh siapapun dengan tujuan apapun
menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW, sementara derajat periwayatannya
lemah.

Ketegasan sikap kalangan ini
berangkat dari karakter dan peran mereka sebagai orang-orang yang
berkonsentrasi pada keshahihan suatu hadits. Imam Al-Bukhari dan Muslim memang
menjadi maskot masalah keshahihan suatu riwayat hadits. Kitab shahih karya
mereka masing-masing adalah kitab tershahih kedua dan ketiga di permukaan muka
bumi setelah Al-Quran Al-Kariem.

Senjata utama mereka yang paling
sering dinampakkan adalah hadits dari Rasulullah SAW:

Siapa yang menceritakan
sesuatu hal dari padaku padahal dia tahu bahwa hadits itu haditsku, maka orang
itu salah seorang pendusta. (HR Bukhari Muslim)

Sedangkan Al-Imam An-Nawawi rahimahulah
di dalam kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa para ulama hadits dan para
fuqaha membolehkan kita mempergunakan hadits yang dhaif untuk memberikan
targhib atau tarhib dalam beramal, selama hadits itu belum sampai kepada
derajat maudhu’ (palsu).

Namun pernyataan beliau ini
seringkali dipahami secara salah kaprah. Banyak yang menyangka bahwa maksud
pernyataan Imam An-Nawawi itu membolehkan kita memakai hadits dhaif untuk
menetapkan suatu amal yang hukumnya sunnah.

Padahal yang benar adalah masalah
keutamaan suatu amal ibadah. Jadi kita tetap tidak boleh menetapkan sebuah
ibadah yang bersifat sunnah hanya dengan menggunakan hadits yang dhaif,
melainkan kita boleh menggunakan hadits dha’if untuk menggambarkan bahwa suatu
amal itu berpahala besar.

Sedangkan setiap amal sunnah,
tetap harus didasari dengan hadits yang kuat.

Lagi pula, kalau pun sebuah
hadits itu boleh digunakan untuk memberi semangat dalam beramal, maka ada
beberapa syarat yang juga harus terpenuhi, antara lain:

1. Derajat kelemahan hadits itu tidak terlalu
parah. Perawi yang telah dicap sebagai pendusta, atau tertuduh sebagai
pendusta atau yang terlalu sering keliru, maka haditsnya tidak bisa
dipakai. Sebab derajat haditsnya sudah sangat parah kelemahannya.
2. Perbuatan amal itu masih termasuk di bawah
suatu dasar yang umum. Sedangkan sebuah amal yang tidak punya dasar sama
sekali tidak boleh dilakkan hanya berdasarkan hadits yang lemah.
3. Ketika seseorang mengamalkan sebuah amalan
yang disemangati dengan hadits lemah, tidak boleh diyakini bahwa semangat
itu datangnya dari nabi SAW. Agar kita terhindar dari menyandarkan suatu
hal kepada Rasulullah SAW sementara beliau tidak pernah menyatakan hal
itu.

Demikian sekelumit informasi singkat tentang pembagian hadits, dilihat
dari sudut apakah hadits itu bisa diterima ataukah hadits itu tertolak.

Ditulis dalam Syari'at

Tidak ada komentar: